2025 belum juga berhasil membawa kedamaian bagi dua tanah yang terus berkonflik sejak lebih dari setengah abad silam. Ketegangan antara Israel dan Palestina kembali meningkat sejak awal tahun, dan kini memasuki babak baru yang lebih rumit, lebih dalam, dan sayangnya, lebih menyakitkan bagi warga sipil di kedua belah pihak.
Api yang Tak Pernah Padam
Sejak serangan udara Israel ke wilayah Gaza pada akhir Februari 2025, konflik bersenjata kembali pecah secara terbuka. Pemerintah Israel mengklaim operasi tersebut sebagai respons atas serangan roket yang diluncurkan kelompok militan di Gaza. Namun, seperti biasa, korban terbesar bukanlah para aktor politik, melainkan rakyat biasa: anak-anak, ibu-ibu, dan warga sipil yang tak bersenjata.
Di sisi lain, militan di wilayah Gaza dan Tepi Barat juga meningkatkan intensitas serangan balasan, termasuk melalui drone dan serangan rudal rakitan yang menyasar wilayah pemukiman di Israel Selatan. Pemerintah Israel pun memperketat blokade dan memperluas operasi militer ke sejumlah wilayah sensitif.
Dunia yang Mulai Letih, Tapi Tak Bisa Diam
Komunitas internasional kembali bersuara. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan seruan gencatan senjata, sementara negara-negara seperti Turki, Qatar, dan Prancis mengajukan inisiatif diplomatik untuk menghentikan kekerasan. Namun, di balik panggung politik, dunia tampak mulai lelah—karena ini bukan lagi konflik baru, melainkan luka lama yang terus terbuka tanpa pernah sempat benar-benar sembuh.
Media sosial dibanjiri foto dan video mengerikan: anak-anak berlindung di bawah reruntuhan, tangisan para ibu kehilangan keluarga, dan kota-kota yang hancur jadi puing. Di balik statistik korban, ada kisah yang tak tertulis: kehidupan yang terputus, pendidikan yang tertunda, dan mimpi yang hancur.
Politik, Tanah, dan Identitas
Konflik Israel-Palestina bukan hanya soal wilayah, tapi juga tentang identitas, sejarah, dan trauma kolektif. Di tahun 2025 ini, isu Yerusalem kembali mencuat, terutama setelah langkah kontroversial Israel yang memperluas pemukiman Yahudi di bagian Timur kota yang diklaim Palestina sebagai ibu kota masa depan mereka.
Hamas, yang masih memegang kendali di Gaza, menyebut langkah tersebut sebagai provokasi langsung. Sementara pemerintahan Otoritas Palestina di Tepi Barat berusaha keras menjaga diplomasi internasional agar perjuangan rakyatnya tetap mendapat legitimasi global.
Apa Harapan yang Tersisa?
Bagi sebagian warga Palestina, harapan tinggal sebatas doa dan solidaritas dari luar. Di kamp-kamp pengungsi, anak-anak tumbuh tanpa pernah mengenal arti damai. Di sisi lain, warga Israel yang tinggal dekat zona konflik pun hidup dalam bayang-bayang sirene peringatan dan bunker darurat.
Konflik ini telah jauh melampaui diplomasi. Ia menjadi soal kemanusiaan. Dan selama para pemimpin dunia hanya datang sebagai tamu saat situasi memburuk—lalu pergi saat kamera dimatikan—perdamaian akan terus jadi mimpi yang tertunda.